Selasa, 21 Februari 2012

Makam Syekh Mansyur

Makam Syekh Mansyur terletak di Kampung Cikadueun, Desa Cikadueun, Kecamatan Cimanuk. Menurut kisah yang berkembang di masyarakat, Syekh Mansyur berkaitan dengan riwayat Sultan Haji atau Sultan Abu al Nasri Abdul al Qahar, Sultan Banten ke tujuh yang merupakan putera Sultan Ageng Tirtayasa. Masa Pemerintahan Sultan Haji yang kooperatif dengan Belanda ini dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan di segala bidang, bahkan sebagian masyarakat tidak mengakuinya sebagai sultan.

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Sultan Haji yang asli kembali ke Banten dan mendapati kenyataan Banten sedang dalam keadaan penuh huru-hara. Untuk menghindari keadaan yang lebih buruk lagi, Sultan Haji pergi ke Cimanuk, tepatnya ke daerah Cikadueun, Pandeglang. Di Cikadueun ia menyebarkan agama Islam hingga wafat disana. Ia dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun. Namun cerita seperti ini dari sisi sejarah sangat lemah, dan hanya dianggap cerita rakyat atau legenda yang mengandung nilai dan makna filosofis.

Sumber lain mengatakan, Syekh Mansyur Cikadueun adalah ulama besar yang berasal dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syekh Nawawi al Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam perang Diponegoro pada tahun 1825 - 1830. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, Syekh Mansyur dikejar oleh belanda dan akhirnya menetap di Kampung Cikadueun, Syekh Nawawi kembali lagi ke Mekkah.

Kepurbakalaan yang terdapat di komplek makam Syekh Mansyur Cikadueun ini hanyalah batu nisan pada makam Syekh Mansyur yang tipologinya menyerupai batu nisan tipe Aceh. Nisan ini memiliki bentuk dasar pipih, bagian kepala memiliki dua undakan, makin ke atas makin mengecil. Pada bagian atas badan nisan terdapat tonjolan berbentuk tanduk. Hiasan berupa sulur daun dan tanaman terdapat hampir di seluruh badan nisan tanpa ragam hias kaligrafi.

0 komentar:

Posting Komentar