Sabtu, 30 Juli 2011

BANTEN LAMA, LEBIH DARI SEKADAR WISATA ZIARAH

Ratusan bahkan Ribuan manusia di Kompleks Masjid Agung Banten Lama menjadi pemandangan yang biasa terlihat pada setiap hari-hari besar agama Islam. Kompleks peninggalan Kesultanan Islam Banten memang lebih dikenal sebagai tempat berziarah.

Banten Lama menyimpan banyak cerita sejarah, tak sekadar tempat wisata ziarah.
Memasuki pintu gerbang situs Banten Lama di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, sepintas terasa terbawa ke cerita masa lalu. Masa di mana Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada abad XVI-XVIII Masehi.

Sisa bangunan tua mulai terlihat menyembul di antara rumpun padi di sebelah kiri jalan masuk. Bangunan itu merupakan sisa gapura Gedong Ijo, tempat tinggal para perwira kerajaan.

Melaju beberapa meter dari gerbang, puing-puing reruntuhan bangunan besar mulai terlihat. Itulah Keraton Surosowan, kediaman para sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 hingga Sultan Haji yang memerintah pada 1672-1687.

Semula, bangunan keraton yang seluas hampir 4 hektar itu bernama Kedaton Pakuwan. Terbuat dari tumpukan batu bata merah dan batu karang, dengan ubin berbentuk belah ketupat berwarna merah.

Sisa bangunan yang kini masih bisa dinikmati adalah benteng setinggi 0,5-2 meter yang mengelilingi keraton dan sisa fondasi ruangan. Sisa pintu masuk utama di sisi utara kini tinggal tumpukan batu bata merah dan bongkahan batu karang yang menghitam.

Bangunan kolam persegi empat di tengah keraton merupakan pemandangan lain yang ada di dalam benteng. Menurut catatan sejarah, puing itu merupakan bekas kolam Rara Denok, pemandian para putri.

Di bagian belakang atau di sisi selatan, terlihat pula sisa bangunan berbentuk kolam menempel pada benteng. Dahulu, kolam itu digunakan sebagai pemandian pria-pria kerajaan, yang disebut Pancuran Mas.

Air yang dialirkan ke kolam Rara Denok dan Pancuran Mas berasal dari mata air Tasik Ardi, sebuah danau buatan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan atau tepatnya barat daya keraton. Disalurkan ke keraton dengan menggunakan pipa yang terbuat dari tanah liat.

Sebelum masuk keraton, air dari Tasik Ardi harus melalui tiga kali proses penyaringan. Bangunan penyaringan itu disebut Pangindelan Abang, Pangindelan Putih, dan Pangindelan Mas.

Saat ini lokasi Tasik Ardi masuk dalam wilayah Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu,Kabupaten Serang, yang dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Sementara itu, tiga bangunan pangindelan masih bisa dilihat di Jalan Purbakala, antara Keraton Surosowan dan Tasik Ardi. Sayangnya, sekarang jalan ini hanya bisa dilintasi sepeda karena warga masih menggunakan tempat itu sebagai jalan air di tengah persawahan.{mospagebreak}

Di sudut sebelah barat terlihat sebuah bangunan menyerupai cincin. Tempat itu disebut ruang Pasepen, yang digunakan sebagai tempat sultan beribadah.

Bangunan keraton ini pertama kali dihancurkan pada masa pemerintahanSultan Ageng Tirtayasa pada 1680. Keraton dibumihanguskan saat Kesultanan Banten berperang melawan penjajah Belanda.

Simbol kebesaran kerajaan Islam Banten itu kembali dihancurkan pada 1813. Ketika itu, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Daendels memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan keraton karena Sultan Rafiudin (sultan terakhir Kerajaan Banten) tak mau tunduk pada perintah Belanda.

Reruntuhan bangunan keraton juga terlihat di bagian selatan Keraton Surosowan. Pada bagian depan terpancang papan bertuliskan ”Situs Keraton Kaibon”, dengan luas sekitar 2 hektar. Keraton ini dibangun pada 1815 sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah, ibu Sultan Muhammad Rafiuddin yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan karena putranya masih berusia lima tahun.

Bangunan bersejarah lain yang bisa dinikmati adalah Jembatan Rante, yang terletak di depan Keraton Surosowan, tepatnya di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama. Jembatan hidraulis itu berdiri di atas kanal yang saat ini sudah menyempit dan berubah fungsi menjadi kubangan air.

Dahulu Jembatan Rante digunakan sebagai tempat pemeriksaan kapal-kapal yang keluar-masuk keraton. Jembatan ini akan terangkat jika ada kapal yang lewat dan akan kembali rata setelah kapal berlalu.

Salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh adalah Masjid Agung Banten Lama, berikut menara setinggi 23 meter. Masjid inilah yang paling terkenal di Situs Banten Lama dan selalu penuh sesak oleh para peziarah, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam.

Wihara Avalokitesvara

Bukan hanya bangunan masjid, Kesultanan Islam Banten juga menyisakan bangunan wihara Buddha atau klenteng China. Disebelah barat daya Surosowan berdiri Wihara Avalokitesvara, yang dibangun pada 1652.

Bangunan wihara ini merupakan peninggalan Sultan Syarief Hidayatullah, yang menikahi seorang putri China saat sang putri bertandang ke Pelabuhan Banten. Wihara dibangun sebagai tempat peribadatan para pengikut putri China, yang kemudian tinggal di Banten Lama.

Saat ini, Wihara Alokitesvara merupakan salah satu wihara tertua di Indonesia, yang kerap dibanjiri peziarah karena terdapat altar Kwan Im Hut Cou atau Dewi Kwan Im. Dewi Kwan Im dipercaya sebagai dewi yang penuh welas asih, yang diyakini sering menolong manusia saat dihadapkan pada berbagai kesulitan.

Selain itu, di dalam wihara juga terdapat 15 altar, seperti altar Thian Kong yang berarti Tuhan Yang Maha Esa dan Sam Kai Kong atau penguasa tiga alam.

Setiap tahun wihara di Kampung Kasunyatan, Desa Banten, ini selalu dipadati puluhan ribu pemeluk Buddha dari banyak daerah di Indonesia, Belanda, Jerman, dan Thailand. Mereka datang, terutama, pada peringatan Lak Gwe Cap Kau, saat Dewi Kwan Im mendapatkan kesempurnaan.

Terlepas dari itu, berdirinya wihara di kompleks kerajaan Islam bisa menunjukkan tingginya toleransi antarumat beragamapada masa itu. Warga yang berbeda agama bisa hidup berdampingan dengan harmonis di kota tua tersebut.

Untuk melihat dengan jelas sisa-sisa peninggalan Kesultanan Banten, Museum Kepurbakalaan Banten Lama bisa menjadi tujuan kunjungan.

Gambar peta dunia yang dibuat dengan tulisan tangan juga terpampang di sana. Demikian pula gambar Kiayi Ngabehi Wirapraja dan Kiayi Abi Yahya Sandara, dua Duta Besar Kesultanan Banten untuk Inggris. Itu menunjukkan majunya pemikiran para sultan karena mengerti pentingnya diplomasi.

Koleksi mata uang dan pecahan keramik dari sejumlah negara juga disimpan di museum tersebut. Itu merupakan bukti bahwa Kerajaan Banten memiliki bandar besar, tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bandar Banten dikunjungi para pedagang dari Gujarat (India), China, Melayu, Persia, dan Eropa.

Tidak perlu biaya mahal untuk menikmati sisa keindahan dan cerita kejayaan Kesultanan Islam Banten. Cukup membayar Rp 1.000, pengunjung sudah dapat mengantongi tiket untuk menjelajahi museum seluas 1.000 meter persegi.

0 komentar:

Posting Komentar